MAKALAH
Dinasti Umayyah : gerakan politik dan keagamaan
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejaranh kebudayaan islam
Dosen Pembimbing:
H.MUH.KHOIRUL RIFA’I,M.Pd.I
Disusun oleh:
Amalia Nur Santi (3217103007)
Anis Masruroh (3217103012)
Ariani Ragil Saputri (3217103015)
Prodi : PGMI - VA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) TULUNGAGUNG OKTOBER 2012
KATA PENGANTAR
Bismillahiromanirrohim
Alhamdulillah,dengan rahmat Allah SWT Yang Maha Kuasa penulis bisa menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik, walupun masih banyak kekurangan disana sini. Namun harapan penulis dengan kekurangan ini bisa menambah pengalaman penulis dalam membuat makalah selanjutnya.
Shalawat serta salam tetap terlimpahkan kepada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW yang kita nantikan safa’atnya dihari akhir nanti.
Dengan terselesainya pembuatan makalah yang berjudul “Dinasti Umiyyah : bidang politik dan keagamaan” , penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Maftukin, M.Ag, selaku Ketua STAIN Tulungagung.
2. Bapak H.Muh.Khoirul rifa’I,M.Pd. Selaku Dosen Mata kuliah pembelajaran sejarah kebudayaan islam yang telah memberi pengarahan bagi penyusun makalah.
3. Seluruh pihak yang ikut membantu terselesaikannya hasil makalah ini.
Sebagai manusia penulis tidak lepas dari khilaf dan lupa begitu pula dengan adanya hasil makalah yang telah penulis buat ini, maka dari itu segala bentuk kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan hasil makalah ini.
Tulungagung, 22 Oktober 2012
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………….......................………..... i
KATA PENGANTAR……………………………………………....................…………… ii
DAFTAR ISI…………………………………………………....................………. ……… iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………..............................…………. 4
1.2 Rumusan Masalah…………………………………..............................…………… 5
1.3 Tujuan………………………………………………..............................….............. 5
BAB II PEMBAHASAN
1.1 Dinamika politik pada masa Umayyah
1.1.1 Kebijakan Pemerintahan……………………………………......……… 9
1.1.2 Bidang Administrasi……………………............……………………… 11
1.1.3 Bidang Militer........................................................................................... 13
1.2 Perkembangan gerakan Keagamaan pada Masa Bani Umayyah…………………… 16
BAB III PENUTUP
1.1 Kesimpulan dan Saran…….......................………………………………………….. 18
DARTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 19
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan yang berpola Dinasti atau kerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya (khalifah Ali) yang masih menerapkan pola keteladanan Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah dengan proses musyawarah akan terasa berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya.
Bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan foedal dan turun temurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah khulafaur rasyidin.
Dinasti Umayyah merupakan kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan. Perintisan dinasti ini dilakukannya dengan cara menolak pembai’atan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib, kemudian ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak Ali dengan strategi politik yang sangat menguntungkan baginya. Jatuhnya Ali dan naiknya Muawiyah juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij (kelompok yang membangkan dari Ali) membunuh khalifah Ali, meskipun kemudian tampuk kekuasaan dipegang oleh putranya Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau akhirnya kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa bulan.
Bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan foedal dan turun temurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah khulafaur rasyidin.
Dinasti Umayyah merupakan kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan. Perintisan dinasti ini dilakukannya dengan cara menolak pembai’atan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib, kemudian ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak Ali dengan strategi politik yang sangat menguntungkan baginya. Jatuhnya Ali dan naiknya Muawiyah juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij (kelompok yang membangkan dari Ali) membunuh khalifah Ali, meskipun kemudian tampuk kekuasaan dipegang oleh putranya Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau akhirnya kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa bulan.
Pada akhirnya Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah, namun dengan perjanjian bahwa pemmilihan kepemimpinan sesudahnya adalah diserahkan kepada umat Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M / 41 H dan dikenal dengan am jama’ah karena perjanjian ini mempersatukan ummat Islam menjadi satu kepemimpinan, namun secara tidak langsung mengubah pola pemerintahan menjadi kerajaan.
Meskipun begitu, munculnya Dinasti Umayyah memberikan babak baru dalam kemajuan.peradaban Islam, hal itu dibuktikan dengan sumbangan-sumbangannya dalam perluasan wilayah, kemajuan pendidikan, kebudayaan dan lain sebagainya.
Meskipun begitu, munculnya Dinasti Umayyah memberikan babak baru dalam kemajuan.peradaban Islam, hal itu dibuktikan dengan sumbangan-sumbangannya dalam perluasan wilayah, kemajuan pendidikan, kebudayaan dan lain sebagainya.
Dengan demikian pemakalah membahas tentang gerakan politik dan keagamaan pad bani umayyah.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana gerakan politik pada masa bani Umayyah?
2. Bagaimana perkembangan gerakan keagamaan pada masa bani Umayyah?
C. Tujuan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka dapat bertujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui gerakan politik pada masa bani Umayyah.
2. Untuk mengetahui keagamaan pada masa bani Umayyah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dinamika politik pada masa Umayyah
Pemerintah bani umayyah selalu dipenuhi dengan intrik-intrik politik,sejak awal berkuasa sampai masa berakhirnya kekuasaan bani Umaiyyah. Intrik-intrik politik politik yang dimaksud adalah[1] :
NO.
|
Masa
|
Intrik politik
|
1.
|
Masa umayyah
|
1. Peristiwa tahkim yang menghasilkan tiga golongan yaitu:
a. Sunni: muslim myang menerima suksesi muawiyyah dan serangkaian kholifah sesudahnya. Mereka cenderung membatasai peran keagamaan kholifah dan lebih mentolerir keterlibatannya dalam urusan politik.
b. Syiah : mereka yang bersikeras bahw Ali dan keturrunanya yang berhak menjadi kholifah. Golongan ini cenderung menekankan fungsi keagamaan pada seorang kholifah dan menyesalkan sistem kompromi politik.
c. Khawarij: seorang kholifah yang tidak harus keturunan dari sebuah keluarga melainkan harus dipilih mayoritas komunitas muslim dan tetep bertahan dalam jabatannya sepanjang ia menjalankan kekuasaannya secara benar dan tidak melanggar.
2. Terjadinya amul jamaah antara hasan bin Ali ke muawiyyah para pendukungnya (masyarakat arabia,irak dan iran) banyak mengancam tindakannya namun hasan mengatakan:
“saya tidak kerasan menyaksikan kalian terbunuh karena memperebutkan kekuasaan. Mereka akan rela damai jika aku ingin damai dan akan rela perang. Tetapi hal terakir itu akan aku singkirkan oleh karena kash sayang akan darah umat islam.
3. Mengenalkan tradisi baru , pengertian kgolifak ke anaknya. Meskipun hal ini ditentang oleh para sahabat seperti hasan bin alai , Abdulah Bin Zubair, Abdullah Bin Abbas,Abdullah Bin Umar,Abdurrahman bin Abu Bakar.
4. Adanya tantangan dari khawarij.
|
2.
|
Masa yasid
|
2. Peristiwa karbala, yaitu terbunuhnya husain bin Ali yang termasuk menolak membaiat Yasid sebagai Kholifah
3. Terjadinya peristiwa Harrah
(gurun utara madinahyang disebabkan ketidak mauan penduduk madinah membaiat yasid sehingga Yasid mengirimkan pasukan an menyerbu dari arah gurun harran)
4. Peristiwa pelimparan ka’bah dengan manjaniq (alat pelempar batu besar) dikarenakan adanya pemberontakan yang dilakukan Abdullah Bin Zubair di Makkah
|
3.
|
Muawiah II
|
1. Munculnay fanatisme kesukuan antara bangsa abrab utara (kabilah qais) yang mendukung pemerintah abdullah ibn zubair dan bangsa arab selatan (kabilah qalb) yang mendukung kepemimpinanaya bani umayyah
|
4.
|
Marwan
|
1. Awal pemerintahannya terjadi perpecahan di arab selatan yang mendukung bani umaiyyah ,
a. Menghendaki khalid ibn yasid ibn muawiyyah menjadi khalifah.
b. Menghendaki marwan menjadi khalifah yang kebutuhan menghasilkan kesepakatan al jabiyah
2. Terdapat kelompok yang menentang Marwan dan wilayah yang melepaskan diri
|
5.
|
Abdul malik
|
1. Menunjukkan Abdullah bin zubair yang telah memploklamirkan sebagai kholifah
2. Menumpas pemberontakan kaun syiah dan khowarij
|
6.
|
Sulaiman
|
Lebih banyak terjadi konflik internal dimana sulaiman menyibukkan diri untuk berbalas dendam terhadap pihak yang dianggap menentangnya.
|
7.
|
Yasid II
|
Terjadi pemberontakan yang dipimpin yasid ibn Muhallab yang dituduh menggelapkan harta rampasan
|
8.
|
Hisyam
|
1. Terjadi pemberontakan yang dipimpin zaid bin Ali Zainal Abidin
2. Timbulnya tanatisme kesukuan di khurasan
3. Adanya serangan orang berber ,afrika utara yang tidak puas terhadap perlakuan pemerintah yang diperkuat oleh golongan khawarij
4. Adanya serangan suku bangsa khahar ,diperbatas Azerbaijan dan Armenia
|
9.
|
Walid II
|
1. Memicu kenarahan rakyat karena termoral rendah, terbukti menggauli ibu tirinya
2. Terjadi kudeta yang dipimpin yasid III
|
10.
|
Yasid III
|
2. Pemberotakan penduduk Hins untuk membalas kematian al- Walid II
|
Dari tabel diatas dapat dipahami tentang dinamika perpolitikan bani umayyah selalu di warnai tarik ulur kekuasaan. Akibatnya, sangat mudah terjadi pemberontakan baik itu atas nama golongan keagamaan (seperti yang dilakukan khowarij dan syiah) atau atas nama pribadi seperti perebutan hak ebagai khalifah.[2]
Bila ditelusuri intrik politik diatas setidaknya disebabkan 2 hal yaitu:
1. Ketidakrelaan atau ketidaklegawaan dalam menerima segala bentuk kosekwensi segala politik yang ada.
2. Pelecehan atau penghinaan terhadap golongah keagamaan ,status sosial
Bila ke-2 hal tidak dilakukan maka perpolitikan bani umayyah dapat dikatakan stabil. Ini terbukti majur pada masa baini umar ke II ,masa yang dianggap paling berhasil dalam merendam siituasi politik dalam negeri. Dia bersifat legawa terhadap celaan yang diberikan dan dia sangat menghormati golongan keagamaan dan kaum mawalli terbukti dia berhasil menghentikan celaan terhadap Ali ,tokoh panutan Syiah.[3]
2.1.1 Kebijakan Pemerintahan
Setelah Muawiyah menjadi khalifah Umat Islam, ia mulai menata pemerintahannya. Kebijakan ini dilakukan untuk mengantipasi tindakan-tindakan yang timbul dari reaksi pembentukan kekuasaanya.Khususnya dari kelompok yang tidak menyukainya.
Langkah awal yang diambilnya adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Hal ini dapat dimaklumi, karena jika dianalisa setidaknya ada 2 faktor yang menyebabkan Muawiyah mengambil langkah ini, yaitu karena di Madinah sebagai pusat pemerintahan Khulafaurrasyidin sebelumnya, masih terdapat sisa-siasa kelompok yang anti pati terhadapnya. Ini akan mengganggu stabilitas kekuatannya, selain itu di Madinah dia kurang memiliki pengikut yang kuat dana fanatik. Sedangkan di Damaskus pengaruhnya telah menciptakan nilai simpatik masyarakat, basis kekuatannya cukup kuat.
Berikutnya Muawiyah melakukan dan mengganti system khalifah menjadi system kerajaan. System yang dilakukan berbasis baik secara sengaja ataupun tidak kepada nilai kesukaaan dan kekeluargaan. Hal ini disebabkan dengan diberlakukannya perubahan kepada system dinasti memberikan pengertian bahwa pemerintah akan bersifat monarki, yang pergantian pemimpin dilakukan berdasarkan garis keturunan, dan bukan atas dasar demokrasi yang sebagaimana terjadi di zaman sebelumnya.
Secara personal, dalam menghadapi reaksi system yang di laksanakannya, memang Muawiyah bersikap bijaksana, seperti yang di ungkapkan Shaban bahwa beliau merupakan seorang pemimpin yang bijaksana, meskipun dalam menghadapi tekanan-tekanan keras. Ia dapat menguasai dirinya dan mengambil tindakan (keputusan) secara bijaksana. Ia melihat denagn seksama faktor apa penyebabnya dan mencari alternatif, antara lain lewat perdamaian atau memperllakukan musuh dengan keluhuran dan kebesaran.
Bila diperhatikannya, secara historis Muawiyah memilki kepribadian yang luhur, sehingga di tempatkan pada kedudukan yang terhormat baik pada masa rosululloh maupun khulafaurrasyidin, namun jika di analisa silsilah dari Muawiyah, memiliki nilai politik keluarga, keturunan Umayah. Terlepas dari nilai-nilai di atas, system yang diterpakan Muawiyah di dalam pemerintahannya berimplikasi negatif pada umat secara umum, khususnya masyarakat Non Arab. Hal ini disebabkan akan tertanamnya bibit perpecahan di kalangan umat, apabila jika terlihat dari pemerintahan pasca Muawiyah, sebagaimana yang digambarakan oleh Ibnu Kaldun seperti dikutip Ahmed bahwa pengaruh politik dari sistem kesukuan dan kekeluargaan ini berdampak negatif yaitu terpecahnya umat.
Dengan modal monarci absolut, yang berhak menjadi khalifah adalah putera mahkota ataupun putera saudaranya. Jika tidak ada anak laki-laki, maka yang di angkat adalah anak perempuan mereka yang tertua, ini menunjukkan ketertutupannya peluang bagi keturunan lain di luar keturunan Umayah. Terlihat dari timbulnya persaingan di kalangan keluarga kerajaan (putera-putera mereka) untuk saling merebut kursi pemerintahan yang sering kali menimbulkan pertentangan-pertentangan yang akhirnya membuat konflik berdarah atau kudeta. Bila hal ini terjadi maka rakyatlah yang akan lebih menderita, di sisi lain perpecahanpun tak terelakan lagi. Model pemerintahan yang ditetapkan Muawiyah ini banyak di ambil model pemerintahan Byzantium. Ini dadapat di maklumi bila dilihat, secara historis siria ( syuri’ah) pernah di kuasai Byzantium selama kurang lebih 500 tahun sampai kedatangan islam. Sedangkan Damaskus yang terjadi pusat pemerintahan Syiria ketika pernah dikuasai Byzantium.Rentetan pemerintahan ini setidaknya ikut mewarnai corak atau model pemerintahan Muawiyah yang mendirikan dinasti Umayah.[4]
Aspek politik yang terlihat dari pemerintahannya Muawiyah adalah meluasnya kekuasaan islam. Upaya yang diambil dan dilakukan Muawiyah terlepas dari nilai negatif, setidaknya merupakan langkah baru dalam rangkaian penataan masyarakat islam yang lebih teratur, baik stuktur pemerintahan, politik keagamaan, social kemasyarakatan, dan perluasan wilayah pemerintahan.
2.1.2 Bidang Administrasi
Sejak kursi kekhalifahan berpindah dari Hasan ibn Ali ke tangan Muawiyah, Muawiyah langsung melakukan berbagai macam langkah strategis guna meningkatkan dan melancarkan tata administrasi Negara.Langkah-langkah ini cukup berbeda di banding dengan pengelolaan administrasi sebelumnya.
Upaya tersebut dapat dilihat pada bagian berikut.
1. Ibu kota umat islam dipindahkan ke kota Damaskus. Pemindahan ini bisa dipahami karena basis kekuatan Muawiyah berpusat di wilayah itu. Pemindahan ini diharapkan Damaskus mampu mengontrol propinsi-propinsi lain yang ada di bawahnya.
2. Penggabungan beberapa propinsi, sehingga propinsi yang semulanya berjumlah delapan buah dapat diminimalisir menjadi lima buah. Adapun belanja setiap daerah di bebankan kepada daerah masing-masing yang diperoleh dari berbagai sumber yang termasuk pajak dan surplus keuangan daerah dikirimkan ke pusat.
3. Pembentukan jabatan wasir. Wazir ini dimaksudkan untuk membantu khalifah dalam melaksanakan tugas dalam administrasi pemerintahan. Jabatan wasir ini kemudian menjadi tradisi bagi khalifah-khalifah sesudahnya, juga sampai ke dinasti-dinasti sesudahnya.
4. Pembentukan semacam petugas protokoler. Mengawal dan menyeleksi tamu yang akan berurusan dengan khalifah merupakan tugas utama dari bagian ini.
Selain membentuk dan melakukan perubahan-perubahan di atas, Muawiyah juga melengkapi struktur pemerintahan lainnya maka muawiyah menyusun beberapa diwan (departemen).Diwan-diwan ini sedianya sudah ada sejak zaman Umar ibn al-Khathtab, tetapi karena kebutuhan yang berbeda karena perbedaan zaman, maka ada perubahan-perubahan dilakukan dan diwan-diwan tersebut adalah sebagai berikut.[5]
1. Diwan al-Jund. Diwan ini bagian mengurusi ketentaraan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa angkatan bersenjata di masa ini sudah mengalami banyak kemajuan, dari segi strategisnya mengikuti pola Persia dan Bizantium, di mana pasukan dikelompokkan kepada Farsan (pasukan berkuda) , Rajil (pasukan in vantri), dan Ramat (pasukan pemanah). Di kota-kota besar didirikan markas komando dan setiap markas dilengkapi dengan barak-barak asrama, dan di pusat-pusat militer dibangun pula gedung logistik kemiliteran.
2. Diwan al-Kharaj. Diwan ini bertugas untuk mengurus masalah perpajakan yang dibentuk di setiap propinsi dan dipimpin oleh Shahib al-kharaj serta bertanggung jawab langsung kepada khalifah. Karena itu diwan al-kharaj ini sangat penting eksistensi akhirnya dalam kaitannya dengan administrasi keuangan Negara.
3. Diwan al-rasail wa al-kitabah. Diwan ini bertugas menangani berbagai surat dari berbagai wilayah islam atau surat kholifah kepada paraa pejabat didaerah. Karena bagian ini penting ,maka para pekerjanya diambil dari orang kepercayaan terutama berasal dari keluarga kholifah. Dalam ketata negaran modern,dewan ini mirip dengan sekretariat Negara sekarang.
4. Diwan al –khatam. Diwan ini bertugas meregister dan mendokumentasikan arsip surat kholifah atau dokumen penting lainnya. Pada masa Abdul Malik Ibn Marwan diwan ini berkembang menjadi Negara yang berpusat di Damaskus. Karena Damaskus menjadi ibu kota dinasti Umayyah.
5. Diwan al- Barid. Diwan ini sama dengan dinas pos saat ini tetapi pada masa na berikutnya bagian ini berkembang sesuai kebutuhan.
Dizaman, Abd al-Malik, ia menjalankan kebijakan arabisasi. Ada dua praktik dari program ini ,pertama,ia menjadikan bahasa Arab sebagi bahasa resmi.,kedua,ia mengganti uang bizantium dengan uang arab. Dengan adanya kebijaksanaan ini maka terjadilah perubahan besar-besaran dalam administrasi pemrtintahan. J.J Saundres mencatat bahwa progam ini telah berhasil dilaksanakan di irak tahun 697 M,disyuriah tahun 700 dan di mesir tahun 705 M. Kebijaksanaan ini memberikan peluang yang besarbagi orang arab untuk menggambil alih pekerjaan – pekerjaan administrasi perkantoran yang selama ini dimonopoli oleh orang-orang nasrani,dengan system administrasi peninggalan bizantium dan Persia.[6]
Watt juga menyebutkan bahwa kwbijakan Abd al- Malik ini telah menyebabkan banyak pekerja yang kawatir akan dicopot dari jabatan atau kehilanagan pekerjaan karena itu kemudian mereka masuk islam.
Sedangkan dalam kaitannya dengan pergantian mata uang agaknya orang arb kelihatannya sudah terbiasa dengan uang bizantiun dan Persia yang beredar sebelumnay. Mata uang tesebut ditarik dan digantikan oleh mata uang baru mencantumkan kalimat-kalimat arab dan bernafaskan islam pada masa Abdul Malik. Mata uang itu dibuat dari dua jenis logam dinar ,emas,dandirham perak. Nilai tukar ditetapkan 10 atau 12 dirham untuk 1 dinar,tetapi sebenarnya sangat tergantung pada fluktuasi pasar sesuai kondisi setempat. Hal ini semakin memantabkan program arabisasi yang dijalankan oleh Abd al- Malik.[7]
2.1.3 Bidang Kemiliteran
Pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, perkembangan militer bangsa Arab telah mencapai kemajuan yang signifikan. Dalam peperangan dengan tentara Bizantium, bangsa Arab sekaligus mempelajari kelebihan metode militer Romawi dan menggunakannya sebagai model mereka.
Sebagai organisator militer, Mu’awiyah adalah yang paling unggul di antara rekan-rekan sezamannya. Ia mencetak bahan mentah yang terdiri atas pasukan Suriah menjadi satu kekuatan militer Islam yang terorganisir dan berdisiplin tinggi. Ia menghapus sistem militer yang didasarkan atas organisasi kesukuan.
Mu’awiyah melaksanakan perubahan besar dan menonjol di dalam pemerintahannya dengan mengandalkan angkatan daratnya yang kuat dan efisien. Dia dapat mengandalkan pasukan orang-orang Suriah yang taat dan setia, yang tetap berdiri di sampingnya walau dalam keadaan yang berbahaya sekalipun. Dengan bantuan pasukan ini, Mu’awiyah berupaya mendirikan pemerintahan yang stabil.
Pos-pos pemeriksaan di berbagai benteng orang Islam, didirikan pada posisi-posisi yang strategis, di persimpangan jalur militer atau di jalan masuk lembah yang sempit. Pos militer dan daerah sekitarnya itu disebut ’awashim. Namun, dalam pengertian yang lebih sempit, ’awashim merupakan jalur perbatasan bagian dalam, terletak di sebelah Selatan, sepanjang pertahanan yang dijaga satu unit pasukan.[8]
Tentara Umayyah secara umum dirancang mengikuti struktur organisasi Tentara Bizantium. Kesatuannya dibagi ke dalam lima kelompok, yaitu tengah, dua sayap, depan dan belakang. Formasi semacam ini terus digunakan hingga masa khlalifah terakhir, Marwan bin Muhammad (744-M-750-M), yang memperkenalkan satu unit pasukan baru yang disebut dengan kurdus (legiun).
Secara umum, ekspansi yang dilakukan pemerintahan Dinasti Umayyah berhasil melakukan penaklukan yang meliputi tiga wilayah. Pertama, melawan pasukan Romawi di Asia Kecil. Penaklukan ini sampai dengan pengepungan Konstantinopel dan beberapa kepulauan di Laut Tengah. Kedua, wilayah Afrika Utara. Penaklukan ini sampai ke Samudera Atlantik dan menyeberang ke Gunung Thariq hingga ke Spanyol. Ketiga, wilayah Timur. Penaklukan ini sampai ke sebelah Timur Irak. Kemudian meluas ke wilayah Turkistan di Utara, serta ke wilayah Sindh di bagian Selatan. Ekspansi ini dalam rangka memperluas wilayah kekuasaan yang merupakan lanjutan dari ekspansi yang dilakukan oleh para pemimpin Islam sebelumnya.
Mu’awiyah berhasil menaklukkan Tunis, Khurasan sampai ke sungai Oxus serta Afganistan sampai ke Kabul, dan angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ini selanjutnya dilakukan oleh Khalifah Abd al-Malik. Ia berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Fergana dan Samarkand. Pasukannya juga sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Di samping itu, Walid bin Abd al-Malik adalah khalifah yang berhasil menundukkan Maroko dan Aljazair. Dari kota ini, ekspansi diteruskan ke Eropa yang dipimpin oleh Thariq bin Ziyad, hingga mampu mengalahkan Tentara Spanyol. Pada zaman Umar bin Abd al-’Aziz serangan dilakukan ke Perancis yang dipimpin oleh Abd ar-Rahman bin Abdullah al-Gafiqi. Di Perancis, umat Islam berhasil menundukkan Bordeau dan Poitiers. Selanjutnya serangan diteruskan untuk menundukkan kota Tours. Namun al-Gafiqi mati terbunuh, akhirnya tentara Islam mundur dan kembali ke Spanyol.
Di Afrika, pasukan Dinasti Umayyah berhasil menaklukkan Benzarat pada tahun 41 H / 661 M. Qamuniyah (dekat Qayrawan), Susat juga ditaklukkan pada tahun yang sama. Uqbah bin Nafi berhasil menaklukkan Mogadishu, Sirt dan Tharablis, dan Wadan. Kota Qaryawan dibangun pada tahun 50 H / 670 M. Sementara itu, Kur yang merupakan sebuah wilayah di Sudan berhasil pula ditaklukkan. Akhirnya penaklukkan ini sampai ke wilayah Maghrib Tengah (Al-Jazair). Uqbah bin Nafi adalah komandan yang paling terkenal di kawasan ini.
Penaklukkan meluas ke kawasan Timur (negeri Asia Tengah dan Sindh). Negeri-negeri Asia Tengah meliputi kawasan yang berada di antara sungai Sayhun dan Jayhun. Di antara kerajaan yang paling penting adalah Thakharistan dengan ibukotanya Balkh, Shafaniyan dengan ibukota Syawman, Shagdad dengan ibukota Samarkand dan Bukhari, Farghanah dengan ibukota Jahandah, Khawarizm dengan ibukota Jurjaniyah, Asyrusanah dengan ibukota Banjakat, Syasy dengan ibukota Bankats. Pasukan Dinasti Umayyah menyerang Asia Tengah pada tahun 41 H / 661 M.
Pada tahun 43 H / 663 M, pasukan ini dapat menaklukkan Sajistan dan sebagian wilayah Thakharistan pada tahun 44 H / 665 M. Mereka sampai ke wilayah Quhistan. Pada tahun 44 H / 664 M, pasukan Dinasti Umayyah menyerang wilayah Sindh dan India. Penduduk di tempat itu senantiasa melaksanakan pemberontakan sehingga membuat kawasan ini selamanya tidak stabil, kecuali pada masa pemerintahan Walid bin Abd al-Malik.[9]
2.2 Perkembangan Gerakan Keagamaan pada Masa Bani Umayyah
Pada masa Dinasti Umayyah, terdapat cikal bakal gerakan-gerakan filosofis keagamaan yang berusaha menggoyahkan fondasi Islam. Hal ini ditandai pada paruh pertama abad ke-8, di Bashrah hidup seorang tokoh terkenal bernama Washil bin ‘Atha (wafat tahun 748-M), seorang pendiri mazhab rasionalisme kondang yang disebut Mu’tazilah. Orang Mu’tazilah (pembelot,penentang) memperoleh sebutan itu, karena mendakwahkan ajaran bahwa siapa pun yang melakukan dosa besar (kabirah) dianggap telah keluar dari barisan orang beriman, tapi tidak menjadikannya kafir. Dalam hal ini, orang semacam itu berada dalam kondisi pertengahan antara kedua status itu. Washil pernah belajar kepada Hasan al-Bashri, yang cenderung pada doktrin kebebasan berkehendak (free will), yang kemudian menjadi doktrin utama dalam sistem keyakinan orang Mu’tazilah. Doktrin tersebut pada saat itu dianut oleh kelompok Qadariyah (dari kata qadar = kuasa), yang dibedakan dari kelompok Jabariyah (dari kata jabr = paksaan). Orang Qadariyah merepresentasikan penentangan terhadap konsep takdir yang ketat dalam Islam, kekuasaan Tuhan yang sangat ditekankan dalam Al-Qur’an,dan pengaruh Yunani Kristen . Orang qodariyah adalah mazhab filsafat islam paling awal, dan besarnya pengaruh pemikiran mereka bisa disimpulkan dari kenyataan bahwa dua kholifah umaiyyah , muawiyah II, dan yazid III, merupakan pengikud qodariyah.[10] Di samping itu, tumbuhnya gagasan dan pemikiran filosofis Arab pada waktu itu, tidak terlepas dari pengaruh tradisi Kristen dan filsafat Yunani. Salah satu agen utama yang memperkenalkan Islam dengan tradisi Kristen dan pemikiran Yunani pada masa itu adalah St. John (Santo Yahya) dari Damaskus (Joannes Damascenus), yang dijuluki Chrysorrhoas (lidah emas), karena saat tinggal di Antokia ia dikenal dengan nama Chrysostom. Meskipun menulis dalam bahasa Yunani, John bukanlah orang Yunani, tapi orang Suriah yang berbahasa Aramaik di tempat tinggalnya dan, di samping dua bahasa itu, juga bisa berbahasa Arab.[11]
Selain Mu’tazilah, sekte keagamaan lain yang tumbuh berkembang pada masa ini adalah kelompok Khawarij. Pada awalnya kelompok ini adalah pendukung setia Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib, namun pada perkembangannya menjadi penentang Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib yang paling berbahaya,Ini terjadi karena mereka menolak hasil perundingan antara Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah, mereka melakukan pemberontakan dan melakukan kerusakan di muka bumi.Kelompok Khawarij merupakan orang-orang yang keras kepala dan menginginkan manusia hanya ada dalam dua kubu, yaitu kafir dan mukmin. Barang siapa yang sesuai dengan pandangannya, dianggap sebagai orang mukmin.Sebaliknya, barang siapa yang dianggap tidak sesuai dengan pandangannya, dianggap sebagai orang kafir.
Sekte lain yang muncul pada masa Dinasti Umayyah adalah Murji’ah, yang mengusung doktrin irja’, yaitu penangguhan hukuman terhadap orang beriman yang melakukan dosa, dan mereka tetap dianggap muslim. Menurut Murji’ah, kenyataan bahwa Dinasti Umayyah adalah orang Islam sudah cukup menjadi pembenaran bahwa mereka merupakan pemimpin umat. Secara umum, ajaran pokok Murji’ah berkisar pada toleransi. Di antara gagasan pemikiran Murji’ah yang terpenting adalah bahwa mukmin yang melakukan maksiat akan disiksa oleh Allah di akhirat nanti, dan setelah disiksa akan ditempatkan di surga.
Kelompok lainnya adalah Syi’ah. Kegigihan kelompok Syi’ah dengan keyakinan utamanya terhadap Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dan putra-putranya, yang diklaim sebagai imam sejati, masih tetap menjadi karakteristik utama kelompok ini.Kelompok ini lahir setelah gagalnya perundingan damai antara Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Dari peristiwa ini pengikut setia Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib menganut suatu aliran dalam Islam yang disebut dengan Syi’ah.Kelompok ini meyakini Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib beserta para keturunannya adalah pemimpin umat Islam setelah wafatnya Rasulullah SAW.[12]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dinasti Umayyah adalah dinasti yang sistem pemerintahanya mengadopsi sistem pemerintahan asing. Dari uraian makalah diatas kiranya dapat disimpulkan beberapa macam kesimpulan :
· Umaayyah adalah daulah yang pertama kali memperkenalkan system administrasi barat dalam dunia pemerintahan Islam.
· Umayyah adalah daulah yang pertama kali memperkenalkan monarki Heridetis yang sebenarnya tidak dikenal dalam Islam.
· Umayyah adalah pemerintahan yang menggunakan peperangan dalam merebut kekuasaan dari orang lain.
· Pada masa Umayyah Islam teersebar sampai ke Eropa seperti: Spanyol, Barcelona, Seville, Malaga, Elvira dan Cordova (keterangan mengenai ini tidak secara jelas diterangkan dalam pembahasan) Sisi lain dari kebrurukan sistem pemerintahan monarki heridetis adalah sistem pemerintahan itu tidak menimbulkan banyak korban meninggal dalam setiap pergantian khlaifah. Seperti pada masa Ali dan Muawiyah.Akhirnya kitalah yang harus bercermin dari pemerintahan yang tinggal menjadi sejarah tersebut, karena memang kegunaan dari mempelajari sejarah adalah sebagai cerminan bagi perjalan kita bagi masa lalu. Meminjam kata-kata Pramoedya Ananta Toer “Kita harus sudah adil sejak dalam pikiran”. Kita harus adil karena kita semua pasti menjadi pemimpin walau bagi diri sendiri, dan syarat utama bagi pemimpin adalah adil, karena keadilanlah yang akan membawa kita pada kemakmuran dan kesejahteraan.
DAFTAR PUSTAKA
Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradapan Islam Untuk Prguruan Tinggi Islam Dan Umum, Malang:UIN Malang Press, 2008.
Fu’adi Imam, sejarah peradapan islam,(yogyakarta):teras, 2011.
Philip K. Hitti,Histury of The Arabs,from The Earliest Times to The Present,Jakarta:PT.Ikrar Mandiri Abadi,2006.
http://aagun74alqabas.wordpress.com/2011/03/12/perkembangan-dan-keruntuhan-dinasti-umayyah-1/, diakses pada tanggal 21-10-2012, pukul 14.10 wib
daftar nama mahasiswa yang bertanya
1. ANIN NURUN NADIFAH
2. ANA RIFATUN NIKMAH
3. ABU ZAENI
Daftar nama mahasiswa yang MENAMBAH
1. FAHRI HUSAINI
2. ANNEKE DIAH BETRIKA
[1] Abubakar Istianah, Sejarah Peradapan Islam Untuk Prguruan Tinggi Islam Dan Umum (Malang:UIN Malang Press), 2008,hal 55-58.
[2] Abubakar Istianah, Sejarah Peradapan Islam Untuk Prguruan Tinggi Islam Dan Umum (Malang:UIN Malang Press), 2008,hal 55-58.
[3]Abubakar Istianah, Sejarah Peradapan Islam Untuk Prguruan Tinggi Islam Dan Umum (Malang:UIN Malang Press), 2008,hal 55-58.
[7]Imam fu’adi, sejarah peradapan islam, (yogyakarta):teras,2011, (hlm .82-86).
[8] http://aagun74alqabas.wordpress.com/2011/03/12/perkembangan-dan-keruntuhan-dinasti-umayyah-1/, diakses pada tanggal 04-01-2013, pukul 21.10 wib.
[9] http://aagun74alqabas.wordpress.com/2011/03/12/perkembangan-dan-keruntuhan-dinasti-umayyah-1/, diakses pada tanggal 04-01-2013, pukul 21.10 wib.
[10]Philip K. Hitti,Histury of The Arabs,from The Earliest Times to The Present,(Jakarta:PT.Ikrar Mandiri Abadi,2006),hlm.306
[11]http://aagun74alqabas.wordpress.com/2011/03/12/perkembangan-dan-keruntuhan-dinasti-umayyah-1/, diakses pada tanggal 21-10-2012, pukul 14.10 wib.
[12]http://aagun74alqabas.wordpress.com/2011/03/12/perkembangan-dan-keruntuhan-dinasti-umayyah-1/,diakses pada tanggal 21-10-2012, pukul 14.10 wib.
0 komentar:
Posting Komentar